Survey Pelayanan
Informasi Publik

Search

PPID RRI

Refleksi

Hasanudin
04 May, 2023

Dua hari setelah hari raya kemarin, saya berkesempatan mengiikuti ekspedisi arus balik di rute Bandung-Garut-Tasikmalaya, termasuk kawasan wisata budaya Kampung Naga. Saya ditemani kang Irwan Rudiawan, reporter RRI Bandung. Di H+2 perjalanan Bandung-Tasikmalaya lewat Nagreg dan Garut relatif ramai-lancar. Tingkat keramaian di Kampung Naga juga tidak sampai membuat pengunjung berjubel. Untuk sampai di perkampungan adat Sunda itu, kami harus menuruni tak kurang dari 400 anak tangga. Alam sekitar yang cantik mampu memupus rasa lelah, apalagi tangga dari susunan batu alam ini menurun dengan sudut kemiringan yang landai.

Di Kampung Naga kami sempat berbincang dengan Pak Karmadi, pria berusia kisaran 45 tahun, berwajah teduh, yang sejak kecil menghuni Kampung Naga. Dia bercerita tentang masyarakat Kampung Naga yang masih setia memegang tradisi turun temurun. Disana tidak ada listrik dan tidak ada gas. Ada hamparan sawah dengan bulir-bulir padi yang gemuk, juga kolam ikan dengan ikan-ikan emas yang berukuran besar. Inilah sumber pangan mereka. Manusia sangat dekat dan bersahabat dengan alam. Semua serba sederhana, alami, tenang, nyaman, damai. Beberapa pria sederhana beriringan menghampiri masjid saat adzan ashar terdengar. Saya sempat membeli cendera mata tutup kepala khas Sunda hitam bersulam kujang dan tulisan Siliwangi.

Awan mendung mendorong kami bergegas pulang melalui anak-anak tangga yang tadi tapi kali ini jalan jadi menanjak. Terasa berat, melelahkan, apalagi hujan turun cukup deras... Sungguh sebuah laku safar yang memberi pengalaman spiritual, menjadikan kita lebih mampu memahami sisi-sisi indah relasi manusia dengan alam, bahkan semesta dengan Penciptanya. Seandainya saja setiap manusia mampu berkontemplasi menjalin kedekatan dengan alam semesta, mungkin kita tidak perlu mengalami berbagai prahara yang terjadi di pelosok-pelosok dunia, seperti di Ukraina, dan Sudan.

Peristiwa-peristiwa pilu semacam itu seharusnya mengusik kepekaan kemanusiaan kita sebagai orang-orang yang memilih profesi di bidang media. Apalagi peristiwa-peristiwa serupa bukannya tidak mungkin terjadi juga di sekitar kita, sekalipun mungkin dalam skala jauh lebih kecil. Bukankah perilaku keji manusia, makin lama makin terasa biasa karena demikian sering kita dengar, baca, dan tonton.

Pagi ini kita menyelenggarakan halal bi halal selepas menjalani ibadah puasa ramadhan. Sebuah tradisi baik yang konon hanya ada di Nusantara. Salah satu versi cerita Pagi ini kita menyelenggarakan halal bi halal selepas menjalani ibadah puasa ramadhan. Sebuah tradisi baik yang konon hanya ada di Nusantara.

Salah satu versi cerita mengatakan tradisi ini dimulai oleh Mangkunegara I,Pangeran Sambernyawa yang lahir di tahun 1725. Kala itu, setelah sholat Idul Fitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan dengan para kerabat, punggawa, dan prajurit secara serentak di balai istana. Pada pertemuan tersebut dilakukan tradisi sungkeman dan saling bermaaf-maafan satu sama lain.

Di titik ini saya merenung, alangkah indahnya, dalam suasana batin bersih setelah laku puasa sebulan, kita bukan saja bermaaf-maafan dengan keluarga dan orang-orang di sekitar kita, tetapi juga bermaaf-maafan dengan diri sendiri, dan memohon ampunan Allah Subhanahu wa betapa kita sebagai orang media sering kurang memiliki kepekaan, kepedulian, kadang juga tidak punya cukup keberanian, untuk mengangkat masalah-masalah kemanusiaan yang ada di sekitar kita. Rasa sesal makin menyesaki dada, saat kita mencoba menghayati kembali makna "publik" yang lekat pada lembaga kita.

Dengan perenungan seperti itu, siapa tahu, kita menemukan makna yang semakin dalam pada amal ibadah kita di bulan ramadhan kemarin. Dan karenanya kita masuk dalam bilangan orang-orang yang kembali, dan orang-orang yang menang. Kembali kepada fitrah kemanusiaan kita, dan menang sebagai manusia yang paripurna. Lalu, kita merasa lebih layak untuk saling berucap: Selamat Hari Raya Fitri...

Wallahualam bisawab.

Saudara-saudaraku, angkasawan angkasawati RRI dimanapun Anda berada, itulah yang akan saya ucapkan: selamat hari raya fitri, marilah tanpa hingar bingar dunia kita merayakan kemenangan surgawi kita.

Wabillahi taufiq wal hidayah, wassalamu'alaikum

warahmatullahi wabarakatuh.

Penulis : Anwar Mujahid Adhy Trisnanto (Ketua Dewan Pengawas LPP RRI)