JAKARTA, Kota yang dulunya dikenal sebagai pusat pemerintahan Indonesia, akan mengalami perubahan besar dengan perpindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Namun, bagi masyarakat Betawi, terutama seniman dan budayawan, perubahan ini membawa peluang sekaligus tantangan. Salah satunya adalah Tahyudin Aditya, Sekretaris Jenderal Badan Musyawarah Masyarakat Betawi (Bamus Betawi), yang tak pernah lelah menyuarakan pentingnya menjaga warisan budaya Betawi.
Dalam sebuah acara diskusi budaya di Petukangan awal tahun lalu, Tahyudin mengingatkan pentingnya generasi muda Betawi untuk mengenali sejarah dan silsilah leluhur mereka. Menurutnya, banyak generasi Betawi saat ini yang terputus dari pengetahuan tentang asal-usul dan warisan budaya mereka. “Kalau ditanya silsilah keluarga, saya hanya sampai tahu Kumpi. Selebihnya, saya tidak tahu. Ini terjadi pada banyak orang Betawi, terutama pada generasi keempat atau kelima,” ujar Tahyudin -seperti dilansir website goodnewsfromindonesia.com- ketika didaulat menjadi pembicara membahas tentang asal usul Rebana Biang dan Rebana Gedigdug dari Betawi.
Tidak banyak yang tahu tentang dua rebana ini, karena memang jarang tampil dihadapan publik baik itu pada ritus masyarakat atau acara formal atau nonformal. Selain itu, jumlah pelaku seninya juga tidak banyak. Barangkali di Jakarta Selatan saja lebih khususnya di wilayah Ciganjur dan Petukangan.
Selain itu, dia juga menyinggung peran penting masyarakat Betawi dalam pembangunan Jakarta. Menurutnya, masyarakat Betawi sering kali dianggap bisa diatur, tetapi dia menegaskan bahwa sudah saatnya hak-hak masyarakat Betawi diperhatikan. Dalam wawancara dengan radio 91,2 FM Pro1 RRI Jakarta, Tahyudin menyoroti soal ramenya pergunjinhan penunjukkan gubernur DKI Jakarta yang dinilai tidak sejalan dengan semangat demokrasi dan konstitusi masyarakat Betawi.
Perubahan status Jakarta sebagai ibu kota negara juga menjadi perhatian Tahyudin. Dalam Obrolan Budaya di Pro4 RRI Jakarta, ia melihat situasi ini sebagai peluang bagi seniman Betawi untuk lebih mengangkat seni dan budaya mereka di tingkat nasional dan internasional. “Saya optimis ini adalah peluang. Dengan status baru Jakarta, seniman Betawi bisa lebih berkolaborasi dengan sektor kreatif lain di Jakarta yang kini memiliki ruang lebih untuk pengembangan budaya lokal,” ujarnya.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada kekhawatiran di kalangan seniman Betawi terkait masa depan mereka setelah perpindahan ibu kota. Tahyudin menyampaikan bahwa seniman Betawi harus mampu beradaptasi dan berinovasi untuk menghadapi tantangan modernisasi dan globalisasi yang semakin kuat di Jakarta. Kolaborasi dengan pemerintah daerah, sektor swasta, dan komunitas kreatif lainnya kata Bang Adit sapaan akrabnya, akan menjadi kunci keberlanjutan seni dan budaya Betawi di masa depan.